Satu hal yang kita maknai dari perjalanan mi'raj adalah, bahwa ia hanyalah sebuah waqfah. Ia sebuah perhentian. Sebuah tempat Sang Nabi mengisi ulang bekal perjalanannya. Bekal perjuangannya.
Mi'raj titik akhir dari perjalanan itu. Merasakan nikmatnya yang dahsyat dari awal perjalanan hidup dan risalahnya. Sejenak mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Setelah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan.
Padaku malaikat menawarkan,
”Tinggallah di langit ini, bersama syahdu sujud-sujud kami bersama kenikmatan-kenikmatan suci.”
”Tidak!”, kata Rasulullah SAW, ”Di bumi masih ada angkara aniaya. Di sanalah aku mengabdi, berkarya, berkorban
Hingga batas waktu yang telah ditentukan.”
Inilah jalan cinta para pejuang. Para penitinya, para pengejar kenikmatan ruhani adalah para pejuang yang mengajak pada kebaikan mereka, memerintahkan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dalam kerja-kerja besar itu, terkadang mereka merasa lelah, merasa lemah, merasa terkuras. Maka Allah siapkan mi'raj bagi mereka. Sang Nabi yang cinta dan kerja dakwahnya tiada tara itu memang mendapat mi'raj istimewa; langsung menghadap Allah 'Azza wa Jalla. Kita, para pengikutnya, mendapat sabdanya, ”Saat mi'raj seorang mukmin adalah shalat!”
Sampai engkau lelah. Sampai engkau berusaha. Sampai keringat dan darah mengalir. Maka kekhusyu'an akan datang ketika sewaktu-waktu beristirahat dalam shalat. Saat Anda merasakan puncak kelemahan diri di hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah, berserah..
Saat itulah, engkau mungkin melihatNya, dan Dia pasti melihatmu..
Oleh Ustadz Salim A Fillah